Dilema Pendidikan Tinggi, Antara Harapan dan Kenyataan

Opini, Pendidikan1,328 views

Oleh : ILHAM JAYA PRATAMA, ST
(Mahasiswa Program Studi Magister Managemen Inovasi Sekolah Pascasarjana Universitas Tekhnologi Sumbawa)

Perubahan merupakan kata kunci untuk masa depan, setiap perubahan bukan hanya membutuhkan sejumlah syarat ataupun tujuan. Tetapi, proses yang hendak dilalui jangan sampai menjadi jalan yang akan mengkhianati tujuan. Demikian juga dengan dunia pendidikan kita yang digadang-gadangkan melahirkan generasi terdidik sehingga diharapkan mampu untuk menjadi bagian dari perubahan dan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan tinggi Indonesia mengalami perubahan panorama selama dekade terakhir. Perubahan panorama yang dimaksud meliputi perubahan paradigma, pengelolaan, persaingan dan sebagainya.
Perubahan paradigma terutama dipicu oleh perkembangan teknologi informasi, sehingga e-learning, e-university, dan sejenisnya mulai banyak dibicarakan dan diusahakan. Begitu juga dengan perubahan pengelolaan menyangkut badan penyelenggaraan pendidikan tinggi, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta.
Paradigma baru pendidikan tinggi menekankan pentingnya otonomi institusi yang berlandaskan pada akuntabilitas, evaluasi, dan akreditasi dan bermuara pada tujuan akhir peningkatan kualitas secara berkelanjutan.
Di pihak lain, globalisasi, pasar bebas, kebutuhan masyarakat dan tuntutan persaingan yang semakin ketat menuntut komitmen yang tinggi pada penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Pemahaman tersebut menegaskan perlunya PT melaksanakan suatu manajemen mutu terpadu, termasuk di dalamnya Sistem Jaminan Mutu Pendidikan untuk menjamin agar mutu pendidikan di suatu PT dapat dipertahankan dan ditingkatkan sesuai yang direncanakan/dijanjikan.
Perguruan tinggi tidak hanya perlu dilihat sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat penelitian, dan pusat pengabdian kepada masyarakat, tetapi juga suatu entitas korporat ‘’penghasil ilmu pengetahuan’’ yang perlu ‘’bersaing’’ untuk menjamin kelangsungan hidup. Persaingan, sebagaimana dialami oleh perusahaan profit, meliputi persaingan di bidang mutu, harga, dan layanan. Perguruan tinggi sebagai suatu entitas non profit, menghadapi hal yang sama pula. Pengelolaan semuanya memerlukan pengetahuan dan ketrampilan manajemen, yaitu manajemen perguruan tinggi.
Peningkatan mutu pendidikan di perguruan tinggi merupakan urgensi yang mendesak untuk segera dilakukan perbaikan. Peningkatan mutu itu pada dasarnya dapat dilakukan dengan strategi merubah salah satu dari subsistem : manusia, struktur, teknologi, dan proses organisasi.
Pendidikan tinggi dan dunia kerja jadi fokus yang penting saat ini. Untuk mewujudkannya, perlu sinergi dengan banyak pihak. Strategi peningkatan lulusan bermutu di perguruan tinggi harus terus ditingkatkan dengan fokus pada subsistem manusia dan teknologi, yang meliputi: (1) mahasiswa yang di didik; (2) dosen sebagai pendidik dan pengajar; dan (3) sarana dan prasarana.
Data dan fakta menunjukan bahwa mereka yang lulus perguruan tinggi semakin sulit mendapatkan pekerjaan karena tidak banyak terjadi ekspansi kegiatan usaha. Dalam keadaan seperti ini maka masalah pengangguran termasuk yang berpendidikan tinggi akan berdampak negatif terhadap stabilitas sosial dan kemasyarakatan. Kondisi tersebut di atas didukung pula oleh kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (job creator).
Hal ini bisa jadi disebabkan karena sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi saat ini lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan yang siap menciptakan pekerjaan.
Peningkatan kemampuan untuk mengelola dan mengembangkan perguruan tinggi sudah sangat dirasakan perlu, termasuk untuk menggunakan prinsip-prinsip manajemen modern yang berorientasi pada mutu.
Bagi para pemilik dan pengelola Perguruan Tinggi, sistem manajemen mutu pada hakekatnya berinti pada perbaikan terus menerus untuk memperkuat dan mengembangkan mutu lulusan sehingga dapat diserap oleh kalangan instansi dan pasar tenaga kerja.
Krisis ekonomi dan moneter serta pasar bebas telah menuntut untuk lebih cermat dalam menentukan wawasan kedepan yang didasarkan atas pertimbangan potensi, kendala, peluang dan ancaman yang menuntut untuk lebih efektif dan efisien dalam bertindak. Sebagaimana diketahui bahwa era globalisasi adalah era persaingan mutu atau kualitas dari suatu produk.
Produk yang bermutu akan diminati oleh konsumen, sebaliknya apabila produk itu tidak bermutu maka akan ditinggalkan oleh konsumen. Begitupun juga perguruan tinggi di era globalisasi harus berbasis pada mutu, bagaimana perguruan tinggi dalam kegiatan jasa pendidikan maupun pengembangan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan-keunggulan.
Para mahasiswa sebagai calon penerus masa depan bangsa yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi sesungguhnya mengharapkan hasil dari laboratorium itu memiliki nilai ganda yaitu ilmu pengetahuan, gelar, ketrampilan, pengalaman, keyakinan dan perilaku luhur yang mampu bersaing dipasar global. Semuanya itu diperlukan sebagai persiapan memasuki dunia kerja dan atau persiapan membuka lapangan kerja dengan mengharapkan kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan lahir serta batin.
Kenyataan yang ada pada dewasa ini menunjukkan mutu lulusan perguruan tinggi itu tidak selalu dapat diterima dan mampu untuk bekerja sebagaimana yang diharapkan dunia kerja. Maraknya perguruan tinggi berpotensi merosotnya mutu lulusan, mengingat standarisasi mutu lulusan tidak menjadi tujuan; tetapi hanya dilihat dari aspek kuantitas; yakni bagaimana mendapatkan jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya.
Begitupun dengan diberlakukannya otonomi kampus; dimana perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) memiliki kesamaan di dalam pengelolaan, sehingga ada kecenderungan untuk mencari dana yang memadai; namun terkadang mengabaikan aspek mutu itu sendiri.
Perguruan tinggi sebagai wadah untuk menggodog kader-kader pemimpin bangsa, memerlukan suatu cara pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan instansi non pendidikan, karena dalam wadah ini berkumpul orang-orang yang berilmu dan bernalar. Tanggung jawab pendidikan tidak saja beban pemerintah namun oleh seluruh lapisan masyarakat.
Masalah penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana manajemen perguruan tinggi diatur dalam suatu manajemen yang rapi, efisien dan transparan serta akuntabel, sehingga memiliki arah yang jelas yakni mutu lulusan yang baik.
Kemenristekdikti telah mengembangkan berbagai kebijakan dan program untuk mendukung terciptanya lulusan perguruan tinggi yang bermutu dan lebih siap bekerja dan menciptakan pekerjaan. Menghasilkan alumni yang terbukti lebih kompetitif di dunia kerja, dan hasil-hasil karya invosi mahasiswa melalui PKM potensial untuk ditindaklanjuti secara komersial menjadi sebuah embrio bisnis berbasis Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (Ipteks). Kebijakan dan program penguatan kelembagaan yang mendorong peningkatan aktivitas berwirausaha dan percepatan pertumbuhan wirausaha–wirausaha baru dengan basis IPTEKS sangat diperlukan.
Namun, kenyataannya justru berbanding terbalik dengan kenyataan sebenarnya. Kita bisa melihat dan memahami dunia pendidikan kita, baik dari persfektif sistem pendidikan itu sendiri maupun relasi sosio kulturalnya.
Pendidikan adalah upaya pembebasan manusia bukan mekanisme pengerengkangan dalam sangkar yang menjinakkan nalar. Kampus bukanlah sebuah pabrik yang harus tunduk akan kehilangan kepercayaan diri. Maka dari itu, pendidikan diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul dan tangguh dalam menghadapi serbuan arus modernisasi dan globalisasi yang sudah barang tentu menjadi pribadi yang berkarakter.
Lemahnya pendidikan menjadi salah satu pemicu lahirnya kesenjangan social disatu sisi, namun disisi lain pendidikan juga mempengaruhi lahirnya masalah social yang ditimbulkan ditengah-tengah masyarakat, baik vertical maupun horizontal.
Munculnya berbagai masalah di masyarakat seperti berbagai tindakan kriminal dan memalukan adalah akibat dari kelakuan orang tidak terdidik. Masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme masih saja terjadi di tengah semakin tingginya pendidikan warga negara Indonesia, mengapa demikian?

Orang Pintar Belum Tentu Terdidik
Pendidikan sebagai jembatan dalam mencerdaskan generasi bangsa memiliki peranan yang begitu penting dalam kemajuan sebuah Negara. Apabila masyarakat memiliki pendidikan yang lebih baik maka kemajuan berpikir setiap orang pasti akan berkembang, sehingga orang mampu menyumbangkan ide atau gagasannya sebagai bentuk memajukan sebuah Negara. 
Pendidikan merupakan bekal yang paling utama dalam sebuah kehidupan setiap orang. Yang mana dengan pendidikan seseorang mampu membedakan mana yang baik dan buruk, dan mana yang boleh dilakukan dan tidak. Akan tetapi saat ini kondisi pendidikan sangat memprihatinkan, pendidikan hanya menghasilkan orang pintar bukan orang terdidik.
Saat ini banyak sekali terjadi tindakan-tindakan yang memalukan di negeri ini sepertihalnya korupsi, suap dan masih banyak lagi yang terjadi lainnya. Namun anehnya para pelaku tindakan tersebut adalah para orang-orang pintar yang bergelar sarjana. Ketika kita melihat kejadian-kejadian seperti ini kerap terjadi sepertinya ada yang salah dengan pola pendidikan formal di Indonesia. 
Pola pendidikan saat ini hanyalah menjadikan seseorang sebagai juara di ajang kompetisi, mereka selalu diiming-imingi oleh masa depan yang cerah dan mampu mendapatkan pekerjaan dengan upah yang sangat besar.
Para siswa ataupun mahasiswa sepertihalnya sedang mengikuti sebuah kompetisi pacuan kuda yang pada akhirnya siapa yang mampu sampai ke garis finis duluan mendapatkan hadiah sebagai juara. Seperti halnya seorang mahasiswa yang terus terobsesi untuk cepat lulus dan sehingga mampu mendapatkan kerja yang layak. Tetapi semua itu tidak bias direncanakan, banyak sekarang pengangguran dari kalangan orang-orang yang terpelajar. 
Pendidikan sejatinya membebaskan akal pikiran seseorang bukan hanya mendoktrinasi untuk menjadikan mereka semua sebagai mental pekerja. Dengan mengutip kata-kata Louis O. Kattsoff, bahwa “kebebasan akali hanya terjadi melalui pendidikan yang bebas berdasarkan penyelidikan kefilsafatan”.
Pendidikan bukan hanya menjadikan seseorang pandai tapi lebih tepatnya membebaskan pikiran mereka untuk selalu berfikir secara universal, sehingga mereka mampu berkreatifitas tanpa adanya sebuah batasan. Ketika seseorang mampu berpikir secara luas dan mampu mengaktifkan kreatifitasnya maka mereka tidak hanya menjadi seorang pekerja. Karena setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda, dan ketika pendidikan memiliki tujuan yang sama maka kemungkinan itu hanya terjadi kepada satu dua orang saja.
Terlebih lagi pendidikan moral saat ini menjadi penting. Orang yang pintar belum tentu memiliki budi pekerti yang baik. Akibatnya orang-orang yang pintar tersebut malah menjadi orang-orang yang bejat, maling dan penindas kaum yang lemah. Padahal yang seharusnya merekalah yang menjadi penolong dan pemimpin yang baik untuk menciptakan kemaslahatan bagi orang banyak.
Penanaman moral sejak dini sangatlah penting, terlebihnya kepada guru yang kebanyakan waktu siswa lebih banyak dihabiskan ketika mereka menuntut ilmu. Oleh karena itu, system pendidikan yang ada saat ini perlu dikaji ulang, dengan tidak hanya mementingkan hasil, tetapi lebih mementingkan suatu proses untuk mencapai suatu keberhasilan agar tidak lagi mencetak orang-orang pintar yang memintari, bukannya orang-orang pintar yang mendidik. 
Sekolah tinggi hingga bergelar doctor atau bahkan professor nyatanya belum tentu mampu mengubah kelakuan seseorang. Mungkin sekolah tinggi di Indonesia telah berhasil menghasilkan orang-orang pintar namun tidak terdidik. Buktinya masih banyak penjahat yang bergelar sarjana bahkan professor yang harus mendekam di penjara.
Pola pendidikan formal di Indonesia memang hanya mengajarkan bidang keilmuan pengetahuan dan teknologi saja yang membuat orang semakin pintar. Namun sayangnya dalam hal budi pekerti yang membuat orang menjadi terdidik tidak diajarkan. Dari situlah sebabnya mengapa orang pintar masih banyak yang melakukan tindakan memalukan seperti korupsi.
Mungkin memang hanya di Indonesia mantan narapidana korupsi masih bisa dijadikan pemimpin sebuah instansi. Hal ini bukankah seharusnya menjadi hal yang memalukan bagi semua pihak, padahal masih banyak orang yang terdidik di luar sana tapi tidak dipilih.

Revisi Sistem Pendidikan Formal Bisa Jadi Solusi
Sejak tahun 2000 negara-negara di dunia termasuk Indonesia mengikuti tes PISA setiap tiga tahun sekali. PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun. Dan data terakhir tahun 2018 Skor PISA Indonesia termasuk dalam kategori rendah, yaitu Indonesia ada di peringkat 70an dari 78 negara di masing-masing aspek penilaian PISA (membaca, matematika, dan sains).
Pada realitanya pun kondisi sistem pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Apalagi dengan situasi pandemi sekarang, kurikulum pembelajaran jarak jauh itu sangat gak efektif untuk siswa yang ada di daerah.
Karena kondisi yang mengharuskan siswa belajar dari rumah juga banyak menimbulkan masalah baru. Saya sempet lihat berita ada anak kelas 1 SD yang meninggal dianiaya orang tuanya karena susah diajarin pelajaran sekolah online. Miris ya. Belum lagi masih banyak masyarakat dengan sosial ekonomi status yang rendah gak sadar pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka.
Dengan kondisi yang kayak gitu apakah sistem pendidikan sudah mencapai tujuannya?
Kalau kata Neil deGrasse Tyson, sistem pendidikan belum bisa mencapai tujuannya karena hal yang diutamakan di sekolah itu hanya sebatas nilai tinggi. Mungkin ini jadi masalah pendidikan yang pertama, sekolah terlalu mementingkan IPK atau nilai, tapi nyatanya kehidupan tidak hanya mementingkan nilai. Karena nilai tinggi di sekolah itu tidak menjamin orang itu akan selalu sukses. Banyak orang yang tidak mendapatkan nilai tinggi di sekolah tapi punya kehidupan yang sukses, contohnya Albert Einstein.
Masalah yang kedua adalah sekolah hanya menjelaskan “Apa” bukan “Kenapa”. Kita itu sudah banyak mempelajari mata pelajaran waktu di sekolah. Kalau sekarang saya meminta kalian untuk menyebutkan apa saja yang Kalian pelajari waktu sekolah pasti kalian bisa jawab. Belajar Matematika integral, Fisika hukum newton, Geografi lapisan batuan bumi dan lain-lain. Tapi apakah kalian tau kenapa semua itu diajarkan di sekolah? Kayak yang sudah saya bilang tadi, saya sendiri masih mempertanyakan ini.
Hal itu malah memunculkan permasalahan ketiga yaitu sekolah membunuh kreativitas muridnya. Semua murid dipaksa harus mempelajari hal yang sama dengan semua orang, kapan dia harus belajar juga diatur dan murid juga harus mencapai standar yang sama. Dan juga semua siswa dari latar belakang yang beda harus punya pencapaian sama, contohnya UN semua anak dari berbagai latar belakang harus mencapai standar yang sama untuk lulus. Kalau kata Sir Ken Robinson, cara kaya begini malah membunuh kreativitas siswa. Dan dampaknya minat siswa juga jadi berkurang.
Permasalahan keempat adalah pelajaran yang diajarin di sekolah itu tidak relevan dengan kebutuhan kita buat menjalani kehidupan. Banyak banget hal yang kita butuhkan untuk kehidupan tapi tidak diajarin di sekolah. Kayak gimana cara membangun rasa percaya diri yang menurut saya penting untuk kehidupan tapi tidak diajarin. Banyak orang yang bertalenta tapi tidak bisa menunjukan talentanya karena gak percaya diri. Begitupun sebaliknya banyak orang yang sebenernya gak bertalenta-talenta amat tapi bisa sukses ya karena dia percaya diri.
Hal yang penting lain public speaking yang bener, atau cara mengatur keuangan, leadership atau yang lain lagi. Itu sangat penting untuk keberlangsungan hidup sebenernya. Apa semua itu kalian dapatkam waktu kalian belajar di dalam kelas dulu? Berapa persen sih ilmu yang kalian pelajari di sekolah bisa kalian gunakan atau kalian pake di kehidupan kalian sekarang? Menurut saya tidak sampai 50%.
“Jahatnya Pendidikan Indonesia adalah bisa membuat siswanya tidak bisa yakin bahwa dirinya berbeda dengan orang lain” -Pandji Pragiwaksono
Sebenarnya masih banyak lagi masalah dari sistem pendidikan saat ini. Nah, pertanyaannya adalah apakah bisa sekolah menyiapkan siswa-siswanya untuk terjun langsung ke dunia nyata kalau empat masalah ini masih ada? Saya rasa belum ya.
Di awal tulisan ini saya ngebahas soal skor PISA Indonesia yang tergolong rendah, hal ini menunjukan bahwa siswa yang sudah lulus sekolah belum bisa siap untuk menjalani kehidupan. Belum siap untuk beradaptasi dengan dunia pekerjaan, atau mungkin belum siap untuk menghadapi kemajuan iptek dengan maksimal. Karena PISA itu gak menilai pencapaian siswa lewat hafalan aja, tapi fokus ke gimana siswa itu bisa siap dalam menjalani kehidupan.
Siswa harus siap menghadapi tantangan di masa depan dengan kemajuan iptek. Ketika robot sudah bisa menggantikan pekerjaan manusia apakah bisa siswa Indonesia beradaptasi? Siswa juga harus punya penalaran logika yang baik setelah lulus. Karena ini merupakan hal yang mendasar saat seseorang mempelajari sesuatu. Kalau logikanya gak baik maka pelajaran apapun gak bisa diterima dengan baik juga. Dan siswa harus punya kapasitas untuk terus belajar selama hidupnya.
Kalau sistem pendidikan bisa mewujudkan aspek-aspek di atas sistem pendidikan bisa dikatakan berhasil membentuk siswa yang siap tempur di pasar industri kayak sekarang. Kenyataannya banyak banget pengangguran, bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi pada 2021 angka pengangguran bisa mencapai 12,7 juta orang. Seorang sarjana dari universitas ternama saja ada kok yang masih nganggur. Artinya pendidikan tidak bisa menjamin orang akan siap menghadapi dunia industri saat ini.
Hal ini kenapa bisa terjadi? Karena banyak orang yang tidak memiliki skill yang dibutuhkan oleh industri sekarang. Ada kesenjangan antara apa yang kita pelajari dengan apa yang dibutuhkan dunia saat ini. Dan bisa dibilang apa yang kita pelajari di sekolah itu tidak kepake sama dunia industri sekarang.
Banyak skill-skill baru yang dibutuhkan di industri sekarang tapi Sumber Daya Manusia yang ada itu tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan industri. Karena skill-skill yang dibutuhkan itu tidak diberikan saat kita sekolah. Kayak contohnya banyak banget pekerjaan di media sosial seperti youtube, instagram dan lain-lain. Youtuber atau content creator lain saat ini sudah bisa jadi pekerjaan. Tapi kita tidak pernahkan dapat pengetahuan tentang itu?
Sepertinya dari orang tua kita sekolah sampe kita sekolah pelajaran yang dipelajari itu hampir sama juga. Tidak ada adaptasi yang dilakukan, padahal kemajuan industri sekarang itu sangat cepat. Makanya sebuah negara butuh meningkatkan nilai PISA biar bisa beradaptasi dengan tantangan baru sekarang ini.
Makanya butuh banget evaluasi dan perlu perubahan sistem pendidikan di Indonesia yang ada saat ini. Hal ini biar sistem pendidikan yang ada itu bisa lebih relevan dan efektif untuk diaplikasikan di abad ini.
Bisa dibilang kalau kurikulum yang ada sekarang itu belum tepat untuk bisa membentuk siswanya dalam menjalani kehidupan sekarang. Dan pengajaran guru-guru sekarang juga saya rasa belum tepat. Tapi kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kurikulum dan guru di sekolah juga.
Jika sistem pendidikan formal di Indonesia segera di revisi dengan mementingkan proses tidak hanya hasil ini akan mencetak orang-orang terdidik. Bagi orang yang terbiasa dididik dengan melihat hasil saja memang tidak akan mempedulikan bagaimana cara atau proses mendapatkannya. Tidak peduli cara benar atau tidak yang ditempuh yang penting hasilnya sesuai dengan yang diinginkan.
Di situlah letak kesalahan sistem di negeri ini, yang membiarkan anak didiknya menggunakan segala cara untuk memperoleh hasil yang ditargetkan. Padahal cara yang ditempuh seharusnya juga masuk ke dalam penilaian apakah caranya benar atau caranya salah. Dengan demikian artinya memperhatikan proses untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
Impact dari sistem pendidikan yang mementingkan proses adalah lahir orang-orang pintar yang terdidik bukan orang pintar yang sok pintar. Jika Indonesia mampu mengubah sistem pendidikannya menjadi seperti ini, maka bukan tidak mungkin jika Indonesia akan bersih dari korupsi.
Saatnya semua pihak berjuang dan mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi melalui bidang pendidikan. Pendidikan bisa dimulai dari usia dini di rumah, orang tua di rumah harusnya juga berusaha menciptakan calon orang terdidik bukan hanya orang pintar.(*)

Komentar