Tenun Sumbawa Berjuang Melawan Waktu

Lukmanul Hakim, Media Sumbawa

KAIN Tenun Sumbawa  atau Kre Sesek/Kre Alang  dalam bahasa Sumbawanya terus berjuang melawan zaman ditengah gempuran arus digitalisasi dan modernisasi. Tiak ingin dimakan zaman, berbagai pegiat budaya dan pemerintah daerah baik Pemda Sumbawa maupun Provinsi terus mencoba menggalakkan promosi Kain tenun Sumbawa melalui Dekranasda. Telah diraih kepercayaan ditingkat Nasional dan Internasional dari promosi tersebut. Namun mampukah kita menyiapkan jumlah produksi yang signifikan untuk masuk pasar global demi meyakinkan pasar.   

Festival Nesek 2019 atau festival proses pembuatan Kre Alang (Tenun Tradisional) Sumbawa, coba dibangkitkan oleh tangan-tangan terampil dari desa Poto sebagai bentuk kepedulian mereka agar Kre Alang tetap eksis dan mampu memenuhi kebutuhan pasar. Desa Poto Sendiri sebelumnya ditetapkan sebagai desa Pemajuan Kebudayaan di Kabupaten Sumbawa.

Eksesistensi dari Desa Pemajuan kebudayaan, Desa Poto menggandeng Asosiasi Penenun Tradisional Samawa(APDISA) serta ratusan penenun Sumbawa dari dua kecamatan yakni moyo Utara dan Moyo Hilir. Event ini akan menjadi agenda tahunan dalam mendukung geliat Pariwisata Sumbawa.

“Festival Nesek ini sangat luar biasa, kalau bisa diselenggarakan setiap tahun saya sangat setuju,” ujar Bupati.

“Festival Nesek ini sangat luar biasa, kalau bisa diselenggarakan setiap tahun saya sangat setuju,” ujar Bupati, saat pelaksanaan Festival Nesek di desa Poto Moyo Hilir, Rabu (30/10).

Pemerintah Kabupaten Sumbawa memberikan garansi permodalan bagi kegiatan tenun tradisional Sumbawa. Asalkan para penenun menjadi usahanya sebagai kegiatan yang prioritas. Pengrajin tenun harus betul-betul menekuni dan terus bergerak memperkenalkan Festival Nesek dengan Kerealangnya. Hal ini sebagai dasar bantuan pendanaan yang diberikan nantinya.

“Nda rugi Pemerintah Daerah ini untuk mengeluarkan dana sebesar-besarnya untuk mencoba tenun Sumbawa, untuk kemudian menjadi hebat ditingkat Nasional. Kalau boleh kita menggunakan ATBM itu khas Sumbawa harus lebih menonjol,” terang Bupati.

Bupati meyakinkan kepada pengrajin tenun untuk tidak ragu akan modal. Yang paling terpenting adalah memiliki semangat dan menyikapi apa yang hendak dilakukan Dekranasda. Dengan begitu, Penenun di Kecamatan Moyo Hilir dan Moyo Utara yang terpusat di Desa Poto dapat menjadi motor penggerak untuk wilayah lainnya.

Bupati juga berharap agar tidak hanya desa poto yang mampu melakukan kian tenun tradisional. Tetapi Desa lain pun yang ada di kabupaten Sumbawa diajak untuk menekuni kian ‘Nesek’

Permodalan dan pola pemasaran masih menjadi kendala yang dihadapi oleh penenun tradisional Sumbawa. Hal itu diutarakan Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) Kabupaten Sumbawa, Hj. Amien Rahmani Husni Djibril

Selain itu, ada juga persoalan lain dalam hal persaingan. Yaitu adanya penenun dari daerah lain yang meniru kain khas Sumbawa, ‘Kerealang’. Selain memiliki kemiripan, harga yang ditawarkan Kerealang ‘palsu’ juga jauh lebih murah. Sehingga hal ini membuat pengrajin Sumbawa merugi karena kalah bersaing.   

“Dengan adanya Kerealang ‘palsu’ yang datang dari luar daerah, ini juga menjadi keprihatinan kita. Karena Kere Alang yang ada di Poto ini dijual satu biji Rp 1,5 juta. Sementara Kere ‘palsu’ yang dibuat oleh pengrajin dengan motifnya mirip. Kalau kita lihat secara kasat mata itu adalah sama persis, dijual dengan harga Rp 800 ribu. tentu kita sebagai masyarakat selalui ingin membeli dengan harga murah.jika Kre Alang Palsu terus beredar ke Sumbawa maka pengrajin kita  akan mati suri. Untuk itu saya minta juga perhatian Pemerintah bagaimana caranya supaya Kerealang ini dipatenkan. Artinya kalau sudah dipatenkan, bahwa ini milik Sumbawa tidak akan dibuat di daerah lain,” ujarnya.

Kedepan, untuk mengakomodir hasil penenun Sumbawa, pihaknya berencana menjadikan Perusahaan Daerah (Perusda) sebagai One Stop Shopping. Tentunya melalui APDISA (Asosiasi Penenun tradisional Samawa). Nantinya tidak hanya kain tenun khas Sumbawa, namun di One Stop Shopping tersebut juga akan menjajakan hasil pengrajin Sumbawa lainnya, seperti pandai besi, rotan hingga ukiran.

“Saya akan bersurat sebagai Ketua Dekranasda Kabupaten Sumbawa kepada Bupati. Setiap ada tamu untuk pembelian oleh-olehnya diharuskan membeli di One Stop Shopping tersebut. Saya akan mengakomodir semua kerajinan di Kabupaten Sumbawa, tidak hanya Kere Alang saja. Saya mohon perhatian kepada Bapak Bupati juga kepada dinas terkait untuk lebih memperhatikan pengrajin kita yang ada di Kabupaten Sumbawa,” jelasnya.

Panitia Penyelenggara, Fathul Muin menyampaikan, pelaksanaan  Festival Nesek ini adalah salah satu implementasi dari penguatan eksistensi Desa Poto sebagai desa pemajuan kebudayaan.

“Jadi Desa Poto ini salah satu desa dari 8 desa di Indonesia yang masuk dalam kategori desa pemajuan kebudayaan. Desa Poto sebagai desa percontohan, ada 3 objek pemajuan kebudayaannya. Yang pertama Nesek, kedua Ponan dan ketiga Ratib dan Sakeco. Pelaksanaan Festival Nesek ini adalah salah satu implementasi dari penguatan eksistensi Desa Poto sebagai desa pemajuan kebudayaan,” ujarnya.

Festival ini, kata Muin,  baru pertama kali dilaksanakan di Sumbawa dan kemungkinan di NTB.  Di mana festival ini akan dijadikan event tetap yang akan berlangsung terus menerus. Jadi festival ini milik Sumbawa yang dimulai dari Desa Poto.

“Kita sementara ini karena keterbatasan anggaran, untuk pertama kali ini kita adakan dari pagi sampai malam hari. Kedepan mungkin kita tidak seperti ini. Ada kemungkinan dua sampai tiga hari dengan bentuk dan kemasan yang berbeda-beda,” jelasnya.

Diungkapkan, dalam kegiatan dilibatkan 183 penenun dari 300 penenun yang tergabung dalam Asosiasi Penenun Tradisional Samawa (APDISA). Selain dari Desa Poto, penenun juga berasal dari beberapa desa lainnya di Kecamatan Moyo Hilir dan Kecamatan Moyo Utara. Bahkan dalam kegiatan juga terlibat 20 pelajar SD dan SMP yang sudah terlatih. Mereka dilibatkan karena diperlukan regenerasi untuk mempertahankan kebelanjutan tenun ini.

Adapun pelaksanaan kegiatan di Desa Poto, titik tekannya guna mewujudkan Desa Poto sebagai pusat desa pemajuan kebudayaan di Sumbawa. Bahkan untuk menjaga keberlangsungan tradisi dan budaya ini, perencanaan desa nantinya juga harus berujung tombak pada pemajuan kebudayaan.

“Oleh karena itu, nanti perencanaan Desa Poto harus berhulu budaya. Dan ini harus masuk dalam RPJM desa untuk lima tahun kedepan  untuk kita pertahankan ini.  Seluruh program pemajuan kebudayaan harus masuk dalam RPJM desa. Sehingga ini dipastikan bisa terus berlangsung,” tukasnya.

Penenun Cilik Ambil Bagian

Hal ini tergambarkan di Festival Nesek Rabu (30/10) yang berlangsung di Desa Poto Kecamatan Moyo Hilir. Puluhan anak perempuan berpakaian seragam putih sibuk memainkan alat tenun yang sudah biasa dilakukan oleh orang dewasa.

Dengan jari-jari kecilnya, mereka begitu lincah menenun salah satu karya tenun tradisional Sumbawa “Kerealang”. Kerealang sendiri merupakan tenunan songket baik warna, motif hias maupun tatacara pemakaiannya menjadi salah satu identitas dari Kerealang itu sendiri.

Nisa, salah satu peserta anak mengakui, ia sudah diperkenalkan dengan alat tenun serta cara kerjanya sejak duduk di kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Kini sudah tiga tahun berlalu, Nisa yang duduk di kelas 6 SD telah mampu menenun Kerealang dengan berbagai motif.

“Yang ajari Mama, semua motif sudah tau,” ujar Nisa yang sibuk memainkan alat tenunnya.

Ketika menenun, anak-anak yang mulai beranjak remaja itu terlihat sangat menikmati. Sesekali senyuman kecil juga mereka perlihatkan. Bukan tidak mungkin, dari tangan mereka nantinya, tradisi menenun khususnya Krealang dapat terus dikembangkan hingga dikenal dunia.

“Iya, cita-cita saya jadi penenun,” semangat Nisa.

Ternyata ada pula peserta anak lainnya yang baru diperkenalkan dengan menenun. Meskipun demikian, ia sangat bergembira ketika diajarkan oleh ibunya.

“Saya baru diajar nenun sama Mama. Saya sangat senang,” ujar Milani, Pelajar kelas 6 SD.

Di Festival Nesek, dari ratusan peserta penenun, sekitar 20 peserta diantaranya merupakan anak-anak. Dilibatkannya anak-anak ini bertujuan agar terciptanya generasi penerus yang melestarikan tradisi menenun kain khas Sumbawa.

Melihat banyakya penenun cilik, Bupati Sumbawa, HM Husni Djibril B.Sc sangat bangga dan menyampaikan apresiasinya. Dikatakan, anak sebagai generasi penerus sangat baik jika diberikan ruang untuk diperkenalkan tradisi Sumbawa. (MS)

Komentar